Bismillaah..
Alhamdulillaah, aku memuji Allah ta'ala yang telah mengembalikan fathiyah(1) ke pangkuanku. Sungguh sangat banyak yang ingin kembali kuceritakan padanya. Dan kini aku pun ingin mengungkap kata yang telah lama terangkai di dalam benakku, tentangnya, yang kucintai karena Allah, kini telah menetapkan langkah mendahuluiku, Saudariku tercinta yang telah tiada...
Abdullah Ibnu Mas'ud: " Bagi semua orang di dunia ini adalah tamu, dan harta adalah pinjaman. Setiap tamu pasti akan pergi lagi, setiap pinjaman pasti harus dikembalikan"
Kamis, 20 September 2012
Minggu, 16 September 2012
Dan Ia Kembali Merenung
Di tengah semak belukar yang tak begitu menghanyutkan, gemericik air masih menemani sesosok kelopak yang tak begitu menarik bagi sebagian manusia yang melewatinya. Gemericik itu berasal dari sederetan genangan yang masih saja membasahi sebuah kota manusia. Sesekali kelopak itu melambai, mengikuti hembusan angin yang menariknya lembut ke kanan dan kiri. Di sudut kelopak itu, nampak setitik embun yang enggan menjatuhi gundukan cokelat di bawahnya. Ia, dengan semak dan genangan air itu menangis.
Para manusia yang melaju tak sedetik pun menoleh kepadanya, sekedar tersenyum menyapa sosok mungil yang tengah bersedih itu. Semak tahu bahwa itu akan mustahil bagi sang kelopak. Genangan lebih menyadari lagi kesedihan kelopak yang takkan berujung itu. Seakan semua angan kelopak hanya 'kan menyisakan keresahan tanpa ujung, jalan tanpa akhir.
Sinar mentari mulai menipis dan tampak rona kemerahan di ufuk barat langit, ia, sang kelopak masih menatap penuh harap langkah-langkah yang berlalu dengan frekuensi semakin cepat. Terkadang ia tersenyum karena pada akhirnya ada seorang yang bertubuh mungil menatapnya kebingungan. Dan sesekali, ia dapat bercengkerama dengan semak dan genangan tentang hal tersebut.
Bulan mulai nampak menerangi jalan-jalan yang ia saksikan. Kelap kelip lampu, dan masih saja sepatu-sepatu itu menarik perhatiannya. Deru kendaraan pun menemani kesunyian lubuk hatinya. Permukaan tubuhnya telah penuh dengan debu dan kotoran, tetapi ia tak pernah berhenti berharap.
Lama.
Lama ia menanti.
Jauh.
Semakin jauh harapannya.
Kini ia harus rela berpisah dengan dunia. Sepasang sepatu yang selalu ia kagumi, kini telah membuatnya hancur. Dan semak-semak pun hanya bisa menyesali kepergiannya.
Kelopak yang malang.
Para manusia yang melaju tak sedetik pun menoleh kepadanya, sekedar tersenyum menyapa sosok mungil yang tengah bersedih itu. Semak tahu bahwa itu akan mustahil bagi sang kelopak. Genangan lebih menyadari lagi kesedihan kelopak yang takkan berujung itu. Seakan semua angan kelopak hanya 'kan menyisakan keresahan tanpa ujung, jalan tanpa akhir.
Sinar mentari mulai menipis dan tampak rona kemerahan di ufuk barat langit, ia, sang kelopak masih menatap penuh harap langkah-langkah yang berlalu dengan frekuensi semakin cepat. Terkadang ia tersenyum karena pada akhirnya ada seorang yang bertubuh mungil menatapnya kebingungan. Dan sesekali, ia dapat bercengkerama dengan semak dan genangan tentang hal tersebut.
Bulan mulai nampak menerangi jalan-jalan yang ia saksikan. Kelap kelip lampu, dan masih saja sepatu-sepatu itu menarik perhatiannya. Deru kendaraan pun menemani kesunyian lubuk hatinya. Permukaan tubuhnya telah penuh dengan debu dan kotoran, tetapi ia tak pernah berhenti berharap.
Lama.
Lama ia menanti.
Jauh.
Semakin jauh harapannya.
Kini ia harus rela berpisah dengan dunia. Sepasang sepatu yang selalu ia kagumi, kini telah membuatnya hancur. Dan semak-semak pun hanya bisa menyesali kepergiannya.
Kelopak yang malang.
Langganan:
Postingan (Atom)